Hari Ibu antara Sejarah dan Pengkerdilan Makna
Menurut Michael Jeshurun seorang aktivis gereja dalam artikelnya berjudul Mother’s Day –The Pagan Connection mengatakan bahwa tidak seperti kebanyakan perayaan lainnya yang tidak dapat dilacak awalnya. Hari ibu dapat dilacak sampai jauh ribuan tahun sebelum masehi. Yaitu dari kebiasaan kaum pagan.
Kata pagan sendiri adalah kata yang diciptakan oleh gereja untuk merendahkan agama selain Kristen. Termasuk agama islam disebut pagan oleh gereja. Maka untuk menghindari pengunaan kata tersebut kita sebut saja pagan itu sebagai penyembah berhala.
Agama penyembah berhala pertama kali disebarkan di Babilonia oleh Raja Namrud. Makhluk pertama yang menyatakan dirinya tuhan. Keinginan nya untuk disembah menjadi awal mula adanya agama pemuja berhala.
Raja namrud menikah dengan ibu kandungnya sendiri yang bernama Semiramis. Kaum penyembah berhala menyebut Semiramis dengan beberapa nama lain seperti Aphrodite, Cybele atau Sybyl, Diana, Electra, Europa, Isis, Venus, Ashtoreth dan Astarte. Bangsa yunani kuno menyebutnya Rhea, ibu Segala dewa. Peringatan hari ibu menurut para sejarawan adalah bentuk pelestarian kebudayaan kaum penyembah berhala untuk memuja Semiramis.
Nah, kalau dilihat dari asal usulnya, maka hari ibu statusnya sama dengan hari valentine dan tahun baru masehi.
Lalu bagaimana sejarah adanya hari ibu di Indonesia. Hari ibu di Indonesia dicetuskan pada kongres perempuan III tahun 1938. Penentuan tanggal 22 Desember diambil dari tanggal pelaksanaan Kongres perempuan I yang dilaksanakan tanggal 22-25 Desember tahun 1928. Dan baru pada tanggal 22 Desember 1953, dalam acara peringatan ke-25 kongres ini, Presiden Soekarno menetapkan sebagai hari ibu nasional melalui dekret presiden RI no. 316 tahun 1953. Sejak saat itulah setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu di Indonesia.
Mari kita lihat apa dan bagaimana semangat perjuangan perempuan saat itu untuk memberi makna pada hari ibu. Kita mulai dengan pemilihan kata perempuan bukan wanita yang mewakili gender yang sama. Berdasarkan asal katanya, perempuan berasal dari kata pe empuan yang memiilki arti memilki kemampuan sedangkan wanita berasal dari kata waniditoto beraninya diatur saja. Dari pemilihan kata saja sudah menunjukkan perlawanan perempuan pra kemerdekaan terhadap feodalisme yang menempatkan peran perempuan hanya sebatas peran domestik yaitu sumur, dapur dan kasur. Perempuan waktu itu ditempatkan dikelas kedua, sebagai contoh perempuan berpendidikan sekelas RA. Kartini saja tidak dapat menolak keinginan keluarganya untuk dijadikan istri kedua.
Kongres Perempuan I tahun 1928 dilaksanakan kurang dari dua bulan setelah Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda. Menariknya pada Kongres Perempuan I, hanya satu pidato yang disampaikan dalam bahasas jawa. Selain itu , semua pidato disampaikan dalam bahasa melayu (sebutan bahasa Indonesia zaman Hindia Belanda). Perempuan pada Kongres 1, hanya dalam waktu singkat itu mampu melaksanakan isi sumpah pemuda “Bahasa yang satu, bahasa Indonesia”. Bukan tanpa sebab melainkan diskursus-dikursus tentang penggunaan bahasa yang satu ini telah dimulai organisasi perempuan sejak Bulan Mei 1928.
Lalu apa saja isi kongres Perempuan III , yang menjadi ruh tercetusnya Hari Ibu. Mari kita lihat catatan rangkaian pidato para tokoh perempuan saat itu:
1. “Pergerakan kaoem isteri, perkawinan & Pertjeraian”, oleh Ny. R.A. Soedirman (Poetri Boedi Sedjati)
2. “Deradjat Perempoean”. Oleh Ny. Siti Moendjijah
3. “Perkawinan Anak-Anak” oleh saudari Moegaroemah
4. “Kewajiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia “ oleh Saudara Siti Soendari
5. “Bagaimanakah Djalan Kaoem Perempuan Waktoe ini & Bagimana Kelak” oleh saudara Tien Sastrowirjo
6. ‘Kewadjiban Perempoean di dalam Rumah Tangga” oleh saudari R.A. Soekonto
7. “Hal Keadaan Isteri di Eropah”oleh Ny. Ali Sastroamidjoyo
8. “Keadaan Isteri” oleh Nyi Hajar Dewantoro
Dari Delapan topik yang dibahas lima diantaranya adalah peran perempuan dalam kehidupan sosial. Kongres Perempuan III ini mendapat banyak pujiantermasuk dari pemerintah Hindia Belanda karena dianggap berhasil.
Gerakan perempuan Eropa merasa kecewa karena kongres perempuan ini hanya untuk perempuan pribumi. Hebatnya tokoh perempuan kita, mereka dibutuhkan dunia. Berkat kecerdasan mereka, gerakan feminism di Indonesia mampu membuat Indonesia menjadi salah satu Negara yang menghargai hak perempuan. Di Eropah sendiri, yang merupakan asal gerakan feminisme hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk mendapatkan tenaga buruh yang lebih murah karena perempuan diupah lebih rendah. Di Amerika, gerakan feminisme dijadikan alat untuk menempatkan perempuan sebagai komoditas.
Sekarang lihatlah bagaimana hari ibu dimaknai. Hanya peran domestik saja yang ditekankan . Jauh mundur ke belakang. Kembali lagi ke masa feodalisme. Menghapus jejak jejak perjuangan perempuan.
Sekarang peringatan hari ibu dilakukan dengan membebaskan satu hari dari rutinitasnya membuat kesan seolah-olah peran domestik adalah kewajibannya . Padahal seorang ibu melakukannya atas dasar sukarela ingin meringankan beban tanggungan keluarga, bentuk cintanya pada keluarga. Sedangkang kalau dilihat sebagai kewajiban maka rasa hormat dan menghargai dari anggota keluarga akan hilang.
Terus kalau ada yang masih mengajak berdiskusi tentang peran domestik itu kewajiban atau bukan berarti kita benar-benar telah kembali ke tahun-tahun sebelum Kongres Perempuan I.
Apakah kita masih akan memperingati hari ibu. Yang sejarahnya terkait dengan pemujaan berhala yang makna peringatannya tidak sesuai dengan gagasan awal tercetusnya peringatan ini. Aku lebih setuju apa yang dikatakan Jonru kita ganti saja nama peringatan Hari Ibu menjadi Hari Pergerakan Perempuan.
Komentar
Posting Komentar