Surat dari Tubuh yang Letih dan Jiwa yang Tak Bisa Tidur

 

"Surat dari Tubuh yang Letih dan Jiwa yang Tak Bisa Tidur"

Tubuhku menyerah.
Sakit perut kemarin berubah jadi mual. Kaki kesemutan. Badan menggigil seperti habis keluar dari ruang mati.
Tubuhku sedang mengirim surat peringatan:
"Kalau kau mau ke lapangan lagi, jangan ajak aku."

Aku minta izin tidak masuk kerja hari ini.
Duduk seperti tumpukan baju belum disetrika.
Punggungku lengket pada kursi panjang,
dan hujan di atap mengetuk-ngetuk seperti doa yang tertahan.

Tapi di tengah kelemahan itu,
sebuah suara menggema di hatiku, lantang dan menohok:

“Apa jawabanmu kalau cucumu bertanya nanti?”

Tolonglah!
Bisakah aku istirahat?
Tubuh ini rebah, tapi jiwaku malah berdiri dan menanyai aku tanpa ampun.
Pertanyaan itu menusuk—bukan karena aku tak peduli—tapi karena aku terlalu peduli.

Apa yang harus kujawab nanti?

Aku ingin berteriak!
Aku ingin naik motor ke pesisir pantai, melawan angin yang kencang hanya supaya aku bisa menjerit:
"AKU TIDAK TAHU!"
Dan tak seorang pun menatapku seperti orang gila.

Aku dibesarkan oleh generasi yang diselamatkan dari perang dunia, dari PKI, dari kelaparan.
Kalimat “bisa makan saja sudah syukur” mengunci mulut kami dari meminta.
Jangan harap bisa berkata, “Aku ingin dipeluk.”
Kami tumbuh, bekerja, dan berjuang, membesarkan anak-anak yang tak tahu
bahwa isi perut mereka ditumbuhkan di ladang yang tak pernah tidur.

Dan sekarang?

Sekarang dunia terbakar.
Palestina menjerit. Anak-anak terpotong tubuhnya,
dan darah mereka mengalir—bukan dalam sejarah,
tapi di layar HP kita, setiap hari, setiap jam.
Ini bukan Holocaust yang bisa diklaim "kami tidak tahu."
Ini adalah tayangan langsung!
APA ALASAN KITA?

Kita terlalu sibuk?
Dengan apa?
Dengan spreadsheet dan deadline dan laporan kegiatan dan foto monitoring?
Atau kita sengaja menyibukkan diri karena tahu,
bahwa kalau kita diam sejenak… kita akan mendengar pertanyaan itu.

Kita semua sedang mencari alasan.

Tapi aku… aku ingin jadi burung kecil
yang menuangkan air di tengah kobaran api yang menjilat Nabi Ibrahim.
Airnya mungkin tak berarti apa-apa,
tapi ia bisa bersaksi di hadapan Allah:
“Aku tidak tinggal diam.”

Maka aku malu.
Malu kepada Allah.
Malu kepada jari-jariku sendiri yang ingin menunjuk ke Kemal Ataturk dan berkata,
“Dia meruntuhkan Khilafah.”
Tapi tiga jariku lainnya membalik menunjuk ke diriku sendiri.
Apa yang sudah kulakukan?

Aku menggigil.
Angin dingin menyusup dari jendela yang terbuka.
Kuseret kerah jaket, kupeluk tubuhku.
Tapi dingin ini bukan dari cuaca—ini dingin dari keadaan yang membisu melihat ketidakadilan.

Tubuhku mungkin rebah.
Tapi jiwaku hari ini—
berteriak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanaman Terong Layu? Kenali Dua Penyebab Utama dan Cara Mengatasinya

Penyebab dan Cara Mengatasi Daun Cabai Keriting: Panduan untuk Petani