Rajawali part 1
Menikmati keindahan pantai dari sebuah gazebo, aku duduk sendiri merasakan hembusan angin sepoi –sepoi bermain dengan ujung jilbab, Menunggu Nisa, teman dari kuliah yang beberapa tahun terkahir bertemu lagi.
Hari ini ia berjanji akan menceritakan rahasianya cepat menghapal al quran. Dia bukan lulusan pesantren, dia serorang ibu rumahtangga dan sekaligus wanita karir.
Kecepatannya menghapal membuat kami kagum. Dia bisa menghapal satu halaman al quran dalam waktu setengah jam dengan lancar. Sementara yang lain satu minggu hanya dapat tiga baris dan itu pun terbata-bata.
Ia sering memberikan tips-tips menghapal al quran di majelis-majelis ilmu. Penjelasannya selalu dalam urutan step by step merusaha meyakinkan kami bahwa menghapal itu mudah. Namun, tetap saja kami merasa kesulitan.
“Pasti ada rahasia yang belum kau ceritakan Nis, coba ingat-ingat lagi” beberapa kali aku mengulangi kalimat itu, menuntut ia berpikir lebih keras, sampai akhirnya ia tersenyum dan berkata “ ada, tapi agak panjang ceritanya.
“kapan dan dimana?” timpalku bersemangat.
Maka dibuatlah janji temu ini.
“Ingat tidak dengan Imam, teman kuliah kita dulu. Dia pernah berkata kepadaku“ egomu akan menjatuhkan mu.” Katanya ringan sembari duduk di bangku beton panjang yang sudah kupilih. Kalimat awal yang tanpa kusadari adalah awal rahasia yang ia maksudkan.
“ah masa, berani-beraninya Imam menilaimu seperti itu” spontan terkejut dengan kelancangan Imam. Perempuan sederhana yang kukenal sangat menjaga perasaan orang lain. Empat tahun bersamanya di bangku kuliah, tidak pernah sekalipun aku mendengarnya berselisih paham dengan orang lain.
“awalnya aku juga merasa itu perkataan yang paling tidak berdasar. Apalagi saat ia melontarkan kata-kata itu karena aku menolak uluran tangannya di sebuah outbond. Bagaimana mungkin aku menggengam seorang bukan muhrim. Anehnya kata-kata itu yang terngiang ketika aku mengalami kesedihan bertubi-tubi diawal pernikahan”.
Kisahnya dilanjutkan dengan kesedihan beruntun tentang rasa sepi diperantauan. Kerinduan kepada orangtua dan kehangatan rumah masa kecilnya. Kesulitan ekonomi yang membuatnya jarang sekali makan. Kemarahan mertua karena melihat kemiskinan meraka. Kekerasan psikis yang membuatnya merasa tidak berarti dan tidak ada tempat untuk mengadu karena ia tidak ingin membuat sedih ibunya.
Aku mendengarnya dalam diam dengan sesekali menyeka air mataku.
Di tengah masa gelap itulah ia mencari kebenaran dalam perkataan Imam. Ia merasa egonya lah yang telah membuat ia jatuh dalam kesengsaraan.
Aku ingin membantahnya dengan mengatakan bahwa tidak ada orang yang berhak diperlakukan seperti itu tapi aku sedang berusaha memahami jalan pikirannya
“Bukankah dengan menolak mentah-mentah perkataan Imam berarti aku sudah sombong menganggap diriku tidak memiliki sifat buruk itu”.
Ia melanjutkan bahwa tidak perduli bagaimana pun keadaan, tidak seharusnya ia merasa tidak layak berada disitu. Ia merasa telah sombong menganggap kebaikannya telah cukup untuk berhak diperlakukan baik oleh orang lain.
Penderitaan yang dirasakannya bukan karena cobaan tapi karena ego. Ego itu menolak realita yang ada sehingga ia jatuh dalam kesedihan.
#30 DWC jilid 25
#Day 27
Komentar
Posting Komentar