Ikhlas akan kekurangan dan kehilangan

 


Pernikahan yang langgeng bukalah pernikahan yang tidak ada cobaan didalamnya.  Seperti mengarungi samudera dengan bahtera, akan megalami goncangan ombak bahkan badai. Menjaga keiklhasan adalah kunci untuk berlayar dengan selamat sampai ke tujuan.

Iklhas aku kira sama dengan cinta. karena cinta, aku siap untuk hidup bersamanya. Aku kira itulah ikhlas. Menandakan cinta telah membutakan ku.

 Cinta, seperti  angin. Berhembus lembut  membelai. Bertiup membelah akar-akar rambut  menenangkan syaraf dibawahnya.  Suaranya yang halus membisikan ketenanggan. Sejenak membuat lupa akan segala masalah. Mungkin dari sanalah muncul istilah dibuai cinta.  Ketenangan, rasa aman dan kebahagian yang kita simpulkan dengan satu kata. Tentram.  

Bayangan hidup bahagia  di jalan bertabur Bunga menandakan kenaifanku akan makna sesungguhnya sebuah pernikahan. Pertanyaan “apakah sudah siap menikah?” ku jawab dengan anggukan tanpa sedikitpun mengerti  makna sesungguhnya dari pertanyaan tersebut. Hal yang kemudian aku ketahui jauh setelahnya.

Aku kira dengan siap untuk memasak dan mengurus keperluan suami, adalah tanda kesiapan untuk menjadi istri. Aku salah besar.

Dibesarkan di kelurga dengan disiplin tinggi. Dilatih untuk tidak banyak menuntut, tidak cengeng, ditambah keterampilan memasak menu sehari-hari  dan  tanggung jawab mengurusi empat saudara laki-laki. Apalagi yang lebih sulit dari itu. Begitula aku kira.

 Semuanya hanya perkiraanku saja karena tidak ada sekolah yang mengajarkan materi tentang mengarungi kehidupan dan tidak ada orang tua yang benar-benar dapat mempersiapkan anaknya untuk ujian kehidupan karena semua adalah rahasiaNya.

Begitu perhelatan pernikahan selesai dan kami kembali ke tempat kami berkerja. Barulah aku menyadari bahwa sekarang hanya aku dan dia. Hanya kami berdua menghadapi dunia. Perasaan ciut, takut  yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Mengapa tidak ada yang pernah memberitahu ku tentang ini? Sekarang bukan lagi saatnya bertanya sekarang adalah waktunya menghadapinya. Saat itulah aku sadar arti ucapan

 “selamat menjalani hidup baru”.

Sebuah kalimat yang dicetak besar untuk memeriahkan panggung pelaminan kurasakan kini sebagai olokan. Mengingat ingat adakah senyum seringai dari undangan mengetahui bahwan hidup yang baru itu sulit. Tapi tidak, semua undangan menyampaikan doa tulus berharap kebahagian untuk kami.

Sebuah kehidupan yang  berbeda dengan kehidupan dibawah asuhan kedua orang tua. Dulu aku kira kehidupan setelah menikah itu seperti menambahkan kebahagian yang telah ada.ah lagi-lagi hanya perkiraanku dan aku salah.

Menghadapi kehidupan hanya berdua. Berusaha mencukupi kebutuhan dari gaji yang ternyata jauh dari mencukupi kebutuhan. Memikirkan uang belanja yang hanya sampai setengah bulan, bayaran tagihan listrik, tagihan air, biaya berobat dan kebutuhan lain yang panjang sekali urutan tidak dapat diimbangi oleh penghasilan yang aku dan dia hasilkan. Realita kehidupan yang membuat buaian cinta sirna.

Pertengkaran-pertengkaran karena kekurangan uang belanja yang kami saling tuduh siapa yang boros. Saling menyalahkan atas keputusan yang diambil. Membuat pikiran untuk kembali ke rumah orang tua adalah oase di tengah kekalutan pikiran.

Sikapnya yang mulai menjauh  membuatku merasa benar-benar sendiri.

Setelah kelahiran anak, kebutuhan semakin banyak dan sumber pertengkaran kami pun semakin banyak.

Rasa lelah karena beban tugas kantor dan pekerjaan rumah tangga ditambah kurang tidur menjaga anak membuatku tidak memiliki ruang untuk bersabar jika ada sedikit saja perkataan yang kurasa menyentil di telingaku.

Pertengkaran kami semakin sering dan untuk meredanya kami mengurangi berbicara satu sama lain.

“Bukankah kita seharusnya menghadapinya bersama. Tapi mengapa?  Kita semakin jauh” dengan siapa aku berbagi kesusahan jika teman yang seharusnya sejalan makin menjauh.

“Hello! Kemanakah perginya cinta”

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanaman Terong Layu? Kenali Dua Penyebab Utama dan Cara Mengatasinya

Penyebab dan Cara Mengatasi Daun Cabai Keriting: Panduan untuk Petani

Surat dari Tubuh yang Letih dan Jiwa yang Tak Bisa Tidur