Berbagi
Tulisan berikut merupakan lanjutan dari Cerita Sang Ratu
Tepat pukul 10.00, aku sudah tiba di depan rumah papan bercat biru itu. Sebagai seorang penyuluh pertanian, memang sudah menjadi tugasku melakukan kunjungan perorangan di desa wilayah kerjaku. Ya, salah satunya rumah sang Ratu.
Dari luar, sayup-sayup terdengar cekikan suara perempuan setengah baya. Pintu rumah yang terbuka lebar memperjelas siapa pemilik suara itu. “Alhamdulillah, sang Ratu ada di rumah!” Batinku dalam hati.
Seperti biasa, kusapa sang pemilik rumah dengan salam khasku, “Assalamualaikum!”
“Waalaikumusalam!” Terdengar jawaban suara ceria nan renyah yang berasal dari dalam.
Tidak berapa lama, muncullah sosok sang Ratu. Seperti biasa, wajah khasnya yang ramah penuh kehangatan menyambut kedatanganku.
“Eh, Ibu! Yuk, masuk!” ajaknya sembari membentangkan tikar purun yang biasa ia letakkan di sudut rumah.
Aku melangkah masuk lalu memilih duduk bersila mendekat pintu. Ini sudah jadi tabiatku. Bukan sekadar butuh angin. Namun dengan duduk di depan pintu, aku bisa dengan leluasa menikmati deretan bunga-bunga yang ditata serupa taman.
Setelah basa-basi sedikit dan saling bertukar kabar mengingat kami sudah beberapa hari ini tidak bertemu, kukeluarkan dokumen kebutuhan pupuk bersubsidi yang telah diajukan kelompok sawah yang diketuainya. Setahun sebelumnya, kelompok bu Ratu ini telah mengusulkan bantuan pupuk bersubsidi tersebut. Di tahun ini, bantuan itu sudah bisa tebus. Sayangnya, saat menanyakan berapa banyak pupuk yang telah ditebus oleh anggota kelompok, aku mendapat jawaban yang menerbitkan keterenyuhan di hatiku.
“Anggota kami tidak sanggup menebus pupuk sampai bulan ini, Bu.” Ujar sang Ratu lirih. Mendadak lenyap kecerahan yang kukenal selama ini. Kelirihan sang Ratu semakin menjadi saja mengingat saat ini para petani sudah memasuki musim tanam ke dua.
“Anggota yang lain masih banyak kebutuhan, Bu.” Lanjut sang Ratu masih dengan suara lirih.
Aku paham apa yang dialami oleh anggota ini. Mereka selain bersawah juga memiliki beberapa tanaman sayuran yang juga menjadi andalan. Mereka juga sangat menggantungkan hidupnya dari tanaman sayuran yang hasilnya tidak seberapa itu. Dari hasil sayuran itulah mereka memenuhi kebutuhan hariannya. Jadi walaupun pupuk yang diperuntukkan bagi mereka itu sudah disubsidi tetapi masih juga terasa berat untuk menebusnya.
Kesulitan yang dihadapi para anggota kelompok itu bukan hanya kali ini saja. Dulu, anggota kelompok itu pernah mendapat bantuan benih padi. Hanya saja untuk mengambil benih padi itu letaknya ada di kota yang jaraknya berpuluh kilometer dari tempat mereka. Oleh karena itu, mereka bersepakat akan urun rembuk uang transportasinya yang hanya enam ribu rupiah per orang. Untuk sementara, uang transportasi ditanggung sang Ratu yang merupakan ketua kelompok itu. Tiba harinya, ternyata ada anggota yang tidak bisa memenuhi kesepakatan itu.
“Yah, mau bagaimana lagi. Ikhlaskan saja.” Ucap sang Ratu yang kali ini tidak lagi bersuara lirih. Ia lebih memilih tersenyum. Entah untuk menghalau resahku yang tiba-tiba tergambar di air mukaku karena mendengar ceritanya ataukah karena ia sendiri tidak mau terlalu larut dalam kesedihan atas kondisi itu.
Walaupun cuma enam ribu rupiah per orang tapi jumlah keseluruhannya hampir setengah gaji bulanannya dari TPA. Namun demikian sang Ratu tidak mempersoalkan itu. Padahal aku sudah menawarkan untuk membahasnya pada pertemuan dengan para petani di kesempatan selanjutnya. Namun ia menolak tawaranku itu.
“Tidak perlu, Bu” larangnya.
"Tidak perlu, Bu” ulangnya setelah kutanya kedua kalinya untuk lebih meyakinkan diriku sendiri.
Ku cari-cari di mata dan suaranya tak kutemukan keberatan di sana.
Diam-diam, aku mengagumi sikap dari sang Ratu. Kebesaran hatinya untuk berbagi dengan orang-orang disekitarnya, berempati atas kesulitan orang lain dengan mengesampingkan kebutuhannya sendiri. Kekaguman itu semakin mendalam saat menyadari bahwa apa yang ia alami itu tidak membuatnya kapok. Tidak terlintas di wajahnya akan menyudahi saja dalam mengurus kelompoknya.
#30DWC
#30DWC jilid 25
#Day 6
Komentar
Posting Komentar